Senin, 04 Oktober 2010

Tan Telanai

NASKAH TAN TELANAI
Kajian Struktural Levi-Strauss
Oleh  Dr. Drs. Maizar Karim, M.Hum

ABSTRAK
Naskah Tan Telanai adalah karya sastra klasik Melayu Jambi yang tergolong sastra sejarah.Teks dalam naskah ini popular di kalangan masyarakat Melayu. Sebagai peninggalan budaya masa lampau, pada saat ini teks Tan Telanai berada dalam kondisi “gelap”. Padahal karya ini menyimpan berbagai nilai budaya dan nilai sejarah. Penelitian ini merupakan analisis terhadap teks Tan Telanai itu dengan metode struktural Levi-Strauss. Berdasarkan analisis struktural tersebut cerita ini terdiri atas tiga ceriteme yang memperlihatkan satu kesatuan yang bermakna. Secara sintagmatik teks ini merupakan struktur yang mengungkapkan mitos, dongeng, atau dunia rekaan, tetapi secara paradigmatik mencerminkan realitas, kenyataan sosial budaya, dan karakteristik tokoh atau kelompok etnis suatu masyarakat tradisional tertentu. Karya sastra ini menempati fungsi tersendiri dalam khazanah budaya Melayu Jambi. Meskipun secara sintagmatik memiliki unsur yang bersifat kontramitos dan paradoks dengan karakteristik etnis Melayu, tetapi secara paradigmatis memperlihatkan sistem refraksi yang menyimpan berbagai nilai, baik pada tataran fundamental, seperti nilai pendidikan, nilai pengukuhan pranata budaya dan pengawasan norma, maupun pada tataran instrumental, sebagai medium.pencerminan angan-angan masyarakat pada suatu zaman.

Senin, 27 September 2010

Menyigi Budaya Melayu


MENYIGI BUDAYA MELAYU
Oleh Dr. Drs. Maizar Karim, M.Hum

Keberagaman dan keseragaman kebudayaan di Nusantara merupakan akar budaya bangsa yang hendak dikembangkan di Indonesia. Di antara kebudayaan Indonesia yang sangat luas persebarananya di kepulauan Nusantara dan dianggap relatif tua adalah kebudayaan Melayu. Sisa-sisa pengaruhnya masih terasa di antara pulau-pulau Madagaskar di sebelah barat maupun Pulau Fas di senbelah timur, dan dari Formosa di utara, serta Selandia Baru di selatan. Mengingat luasnya persebaran wilayah kebudayaan Melayu, dalam perkembangannya  kebudayaan Melayu tersebut mengalami pertumbuhan lokal sebagaimana tercermin dalam ranah-ranah kebahasaan, kesusastraan, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, dan kesenian.
            Perkembangan berbagai ranah kebudayaan itu menimbulkan berbagai variasi budaya pada masing-masing wilayah di Nusantara. Terutama di Indonesia, pada suatu periode sejarah tumbuh suatu sistem politik yang dapat mempersatukan sebagian besar Nusantara dalam satu kesatuan nasional, yaitu masa Sriwijaya dan Majapahit (abad 7-16 M), dan dalam ratusan tahun tumbuh kedaulatan di bawah pengaruh agama Islam yang berawal dari Bintan, Malaka, Aceh, Mataram, Banten, Jambi, Johor, Riau, Lingga, Siak, dan seterusnya.
            Campur tangan bangsa asing di Nusantara (abad 16-1945) menimbulkan berbagai perkembangan sistem politik yang akhirnya memecahbelahkan kesatuan dan persatuan Nusantara selama lebih kurang 350 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai kesatuan politik di Nusantara menyebabkan terbentuknya berbagai kerajaan dan kesultanan yang mempengaruhi kepada pertumbuhan dari setiap wilayah menurut sistem kekuasaan dan kondisi lingkungan sosial ekonomi yang ada. Baru kemudian di Indonesia kekuasaan berkembang menjadi suatu Negara nasional dengan kepribadian dan kebudayaan nasional.
            Sebagai suatu Negara, Indonesia menyatakan, kebudayaan bangsa Indonesia ialah kebudayaan  yang timbul sebagai usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnhya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Akan tetapi, intervensi budaya asing, sangat mewarnai kebudayaan Indonesia, sehingga pada ranah-ranah tertentu, budaya Indonesia kehilangan identitas. Padahal, pada situasi global sangat diperlukan jati diri, sebagai kepribadian suatu bangsa.
            Usaha kebudayaan di Indonesia harus berupaya mempertahankan jati diri keindonesiaan,  menuju ke arah kemajuan adat, budaya, dan persatuan. Di sini memang tidak dapat menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh warga bangsa.
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional telah dilakukan bebagai program pembangunan kebudayaan melalui berbagai proyek, antara lain, Proyek Pengkajian Kebudayaan Nusantara yang dilaksanakan Yavanologi, Baliologi, dan Sundanologi. Dan berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam pembangunan kebudayaan itu telah menggugah perhatian dan semangat masyarakat pendukungnya.
Akan tetapi, dalam hal kebudayaan Melayu, belum banyak dilakukan kegiatan-kegiatan pengkajian. Meskipun di beberapa daerah Melayu sudah dirintis pusat-pusat informasi  kebudayan dan pusat-pusat penelitian budaya Melayu, tetapi lembaga-lembaga tersebut belum  mendapat tempat yang proporsional di kalangan masyarakat pendukung budaya tersebut. Kebudayaan Melayu dalam peristiwa-peristiwa budayanya cenderung  bersiafat penampilan seremonial dan artifisial. Tidak banyak dilakukan penelitian dan pengkajian secara ilmiah terhadap misteri-misteri dan nilai-nilai yang dimilikinya.
Begitu pula terhadap kebudayaan Melayu Jambi. Jambi sebagai salah satu pusat kebudayaan Melayu, memiliki kantong-kantong budaya pada setiap kabupaten. Masimg-masing daerah kabupaten  itu memiliki khazanah budaya yang khas. Kebudayaan Melasyu Jambi, sebagai bentuk dan makna budaya Melayu Jambi belum terpajankan secara lengkap dan baik, sehingga identitas Melayu Jambi dan budaya Melayu sebagai sumber perilaku yang bernilai masih kabur, tidak hanya bagi masyarakat pendatang  yang ingin memahami kebudayaan Melayu Jambi, tetapi juga bagi masyarakat pendukungnya, terutama para generasi mudanya.
Kondisi tersebut menuntut segera dilakukan penelitian-penelitian, pengkajian, dan pendedahan. baik  hal ihwal terminologi budaya Melayu Jambi, sejarah kebudayaan Melayu dan Melayu Jambi, adat-istiadat dan kepercayaan Melayu Jambi, bahasa dan sastra Melayu Jambi, kesenian Melayu Jambi dalam berbagai jenisnya, seperti musik, vokal, tari, rupa, teater, dan lain-lain, maupun  orientasi, perubahan dan perkembangan nilai-nilai masyarakat Melayu Jambi.
Di sinilah posisi dan proporsi perguruan tinggi di Jambi, pemerintah daerah dengan dinas-dinasnya (pendidikan,  kebudayaan dan pariwisatanya), lembaga adat Melayu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan pranata yang berkompeten lainnya harus dituntut perhatian khususnya. Kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai budaya Melayu harus terus-menerus dipupuk. Pertemuan-pertemuan  kebudayaan Melayu harus dijadikan sebagai sebuah keniscayaan. Peristiwa-peristiwa budaya Melayu seyogyanya diapresisasi sebagai perilaku khas yang diunggulkan. Kecuali kalau kita ingin melihat generasi muda kita kebingungan di tengah derasnya arus budaya asing.

Sabtu, 25 September 2010

Relevansi Sastra Tradisional Melayu Jambi

RELEVANSI SASTRA TRADISIONAL
MELAYU JAMBI
Oleh Maizar Karim

1. Sastra Melayu Jambi
Jambi sebagai salah satu kelompok subetnis Melayu di Nusantara, memiliki khazanah sastra yang cukup banyak, yang disebut dengan sastra Melayu Jambi. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya naskah sastra ini yang tersimpan di berbagai museum atau perpustakaan di dalam dan luar negeri dan masih beredarnya tradisi sastra lisan di kalangan masyarakat Melayu Jambi. Sastra Melayu Jambi tidak hanya ditandai oleh bahasa Melasyu Jambi sebagai mediumnya, tetapi juga produk kreativitas manusia Jambi dengan berbagai ragam bentuk sastranya. Sastra Melayu Jambi adalah semua karya sastra, baik lisan maupun tulisan yang digunakan, diselamatkan, disimpan, dan dipelihara oleh masyarakat Melayu Jambi yang mendukungnya. Sastra Melayu Jambi itu mencerminkan kreativitas mental masyarakat Melayu Jambi yang diwujudkan dalam bentuk sastra, baik berupa prosa, seperti mite, legenda, dongeng, hikayat, dan kisah, maupun puisi, berupa pantun, syair, seloka, pepatah-petitih, mantra, dan lain-lain.
            Pada umumnya sastra Melayu Jambi yang sampai kepada kita berasal dari periode datangnya Islam, yaitu akhir abad ke-13—16. Walaupun demikian, tidak jarang sastra itu mencerminkan juga bentuk-bentuk folklore Melayu Jambi dan nilai-nilai seni dari zaman Hindu-Budha, yaitu abad-abad pertama sampai dengan pertengahan abad ke-14 M. Teks-teks sastra tersebut merupakan sumber yang dapat menambah wawasan dan pemahaman atas sebagian warisan budaya nenek moyang. Ia memiliki nilai yang sangat tinggi, yang di dalamnya terkandung alam pikiran, perasaan, adat-istiadat, kepercayaan, dan sistem nilai masyarakat Melayu Jambi masa lampau.
            Sastra Melayu Jambi pada dasarnya dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu sastra tradisional dan sastra modern. Akan tetapi, pembagian tersebut bersifat relatif dan subjektif, yakni relatif dengan zaman, tempat, atau ruang, masyarakat; dan subjektif dalam pengkajian yang dibuat yang tergantung dari sudut mana peninjauan dilakukan, apakah dari sudut tradisional atau modern.
            Sastra tradisional Melayu Jambi terdapat dalam dua bentuk, yaitu sastra istana dan sastra rakyat. Kebanyakan sastra istana terdapat dalam bentuk tertulis (naskah). Para pujangga dipanggil oleh raja datang ke keraton untuk menuliskan peristiwa-peristiwa di sekitar keraton  dan melahirkan cerita-cerita mitos. Cerita-cerita ini yang berbentuk prosa, dikenal dengan hikayat, sedangkan yang berbentuk puisi dikenal dengan syair. Lain halnya dengan sastra rakyar. Sastra yang disebutkan terakhir ini bersifat lisan, penyebarannya dari mulut ke telinga, dari satu generasi ke generasi yang lain . Sastra lisan ini  merupakan bagian dari persediaan budaya lama yang telah lama hidup dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi, baik ketika masyarakat Melayu Jambi mengenal huruf ataupun belum. Bentuk-bentuk prosa sastra ini adalah mite, legenda, dan dongeng, sedangkan dalam bentuk puisi adalah pepatah-petitih, pantun, teka-teki, seloko, mantra, dan lain-lain.

2. Relevansi Sastra Tradisional Melayu Jambi
Sastra Melayu Jambi merupakan bagian dari tradisi masyarakat Melayu Jambi yang terus menerus mempunyai nilai kegunaan dan masih terdapat dalam budaya Melayu Jambi masa kini. Budaya Melayu Jambi merupakan salah satu subbudaya Nusantara (Indonesia) yang selalu hidup mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia mempunyai kedudukan penting dalam masyarakatnya, baik dalam masyarakat Melayu Jambi di masa lalu, maupun dalam masyarakat Melayu Jambi masa sekarang. Karya sastra ini memperlihatkan gambaran yang baik dari masyarakat Melayu Jambi. Cipta sastra ini tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat permukaan, tetapi mengungkapkan pula jiwa masyarakat Melayu Jambi secara lebih dalam. Karena sastra ini telah menjadi gambaran pemikiran masyarakat Melayu Jambi, maka dengan mengetahui gambaran tersebut, sastra Melayu ini menjadi alat saling mengenal, menanamkan saling pengertian antarsuku yang berbeda kepercayaan  maupun adat-istiadatnya. Sebagai karya manusiawi, cipta sastra ini dapat mendorong dan memungkinkan anggota masyarakat Melayu Jambi memahami, mencintai, dan membina kehidupan yang lebih baik karena sastra ini mengandung berbagai nilai  budaya. Nilai budaya dalam hal ini adalah nilai budaya yang lahir dari hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, manusia dengan dirinya sendiri, dan manusia dengan alam lingkungannya.
            Sastra Melayu Jambi yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat Melayu bukan hanya hasil ide satu orang, tetapi mungkin berasal dari masyarakat yang diangkat oleh seseorang berkat ketajaman penghayatannya. Tradisi dalam masyarakat Melayu Jambi memegang peranan aktif untuk jangka waktu yang lama, sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman bagi orang banyak. Begitu kuat pengaruhnya pada masyarakat Melayu Jambi, sehingga di samping memberikan pikiran, juga membentuk norma, baik pada orang sezamannya maupun untuk mereka yang menyusul kemudian.
Bila dikaitkan dengan pengembangan sastra pada umumnya, ada beberapa peranan dari sastra Melayu Jambi, yakni sebagai kekayaan budaya Melayu, kekayaan sastra Indonesia, dan kekayaan budaya Indonresia; model apresiasi sastra; dasar penciptaan; dasar kemunikasi; sumbangan kepada ilmu sastra; dan sumbangan kepada ilmu bahasa.

2.1 Kekayaan Budaya Melayu, Kekayaan Sastra Indonesia, dan Kekayaan Budaya Indonesia
Baik sastra lisan maupun tulisan (naskah) dalam lingkungan budaya di Indonesia merupakan kekayaan budaya, khususnya kekayaan sastra, sebab seperti dapat diketahui, ada hubungan yang erat antara sastra lisan dan sastra klasik, dengan sastra pada umumnya, baik hubungan saling pengaruh, maupun hubungan perkembangan. Oleh karena itu, dalam pengembangan sastra Indonesia pun, kekayaan tradisi itu (lisan dan tulis) tidak boleh diabaikan.
            Kebiasaan bersastra lisan, misalnya, di lingkungan masyarakat Melayu khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, hendaknya tetap dipelihara dan dikembangkan menurut keadaan masyarakat sekarang, sebab kita bukan saja ingin mempunyai sastra tulisan yang tinggi, tetapi juga ingin agar kita dapat bertutur kata dengan baik dan indah, seperti pernah terjadi di lingkungan berbagai masyarakat di Nusantara. Ungkapan, peribahasa, seloka, pantun, dan lain-lain yang pernah menjadi milik masyarakat Indonesia, khususnya di Melayu pada masa lalu, dalam bentuknya yang sesuai dengan keadaan sekarang, harus pula menjadi milik masyarakat kini. Dengan demikian, identitas atau jati diri daerah (kelompok etnis)  dan bangsa tetap kuat.

2.2 Model Apresiasi Sastra
Dengan membaca, mendengar atau menceritakan bagian-bagian dari sastra, terjadi pergaulan antara anggota masyarakat dengan sastranya. Melalui pergaulan semacam itu, tumbuhlah kesanggupan mengapresiasi sastra. Sastra lisan Melayu Jambi, membimbing anggota masyarakatnya ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik berdasarkan praktik yang telah menjadi tradisi yang berhasil selama berabad-abad.
            Masyarakat yang anggota-anggotanya memiliki apresiasi sastra dan telah menempatkan sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupannya, merupakan suatu model  yang sangat besar manfaatnya untuk mengembangkan apresiasi sastra dengan lebih lanjut. Hal ini erat kaitannya dengan apresiasi sastra di kalangan  masyarakat luas sering dipermasalahkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat tidak menaruh penghargaan kepada sastra Indonesia. Mungkin dalam hubungan demikian itu apresiasi terhadap sastra lisan yang ada pada anggota masyarakat dapat dijadikan sebagai titik tolak pembinan dan pengembangan apresiasi sastra Indonesia di kalangan masyarakat.

2.3 Dasar Penciptaan
Penghayatan yang telah mengendap berkenaan dengan sastra lisan dan sastra klasik yang ada pada diri  anggota masyarakat, mungkin pula menjadi dasar penciptaan baru. Tradisi yang telah ada mengenai bentuk, isi, dan gaya, dengan penafsiran dan kreativitas, dapat dijadikan dasar dalam penciptaan sastra Indonesisa. Hal itu juga tampak, seperti dalam karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Utuy Tatang Sontani, Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Sutarji Chalzoum Bachri, dan lain-lain. Boccaccio menggunakan cerita-cerita lama dari sastra Timur yang diberinya rasa zaman Renaisance, Shakespeare menggunakan mitologi Yunani dalam ciptaannya. Yupnical Saketi dalam menulis sajak dan Ary Mhs Ce’gu dalam teater belakangan ini berpijak dari tradisi Melayu Jambi.
            Secara umum dapat dikemukakan bahwa dasar genre dan tema sastra banyak yang tadinya berasal dari sastra lisan dan sastra klasik, dan banyak bukti mengenai sastra-sastra tersebut sebagai hipogram (teks induk penciptaan).

2.4 Dasar Komunikasi
Sastra lisan dan naskah bukan saja dapat dijadikan sebagai dasar penciptaan, tetapi juga untuk kepentingan komunikasi antara si pencipta dengan masyarakat pembacanya. Sastra lisan, misalnya, yang sudah tersebar dan menjadi tradisi di masyarakat Melayu Jambi, akan merupakan jembatan penghubung, sebab masyarakat sudah mengenalnya, sehingga ciptaan yang berdasarkan sastra lisan itu akan lebih mudah digauli, walaupun di dalamnya terdapat unsur dan susunan baru.
            Sampai sekarang, kita masih mencari-cari bagaimana hubungan anatara sastra dengan masyarakat. Dalam masa lalu, hubungan itu ada yang dirumuskan dalam bentuk slogan politik. Akan tetapi, ternyata tidak dapat mendudukkan sastra dalam hubungannya yang serasi dalam keutuhan kehidupan. Pada masa  akhir-akhir ini, orang ada juga yang kembali kepada tradisi daerahnya, misalnya di bidang teater, di Jawa ada lenong, ludruk, dan lain-lain; di Minangkabau ada randai, di Riau ada mak yong, dan di Jambi ada Dul Muluk. Di bidang lagu-lagu, anak muda banyak yang kembali kepada apa yang disebut folksong, atau nyanyian rakyat.
            Pencarian ke dalam sastra tradisional bukanlah tanpa alasan, sebab folklore, yang merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, dapat dipandang sebagai bentuk komunikasi, cerita sebagai amanat, penuturan cerita sebagai pemindahan informasi. Di dalam menetapkan kembali hubungan, apa yang telah ditunjukkan oleh sastra tradisional Melayu, dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan.

2.5 Kontribusi bagi Ilmu Sastra dan Ilmu Bahasa
Penelitian tentang sastra tradisional akan menyumbangkan suatu yang berharga bagi kepentingan ilmu sastra pada umumnya. Studi tentang sastra lisan, misalnya, ada yang digarap oleh para peneliti folklore, yang menaruh perhatian kepada tema cerita dan penyebarannya, kepada masalah kapan cerita rakyat itu meningkat menjadi sastra yang “lebih tinggi” dan “sastra artistik”. Sastra lisan telah pula menjadi bahan penelitian ilmu sastra, karena studi sastra lisan merupakan bagian dari keseluruhan penelitian ilmu sastra. Begitu pula penelitian terhadap sastra berupa naskah, para filolog, antropolog, dan sejarawan, misalnya, dapat mengangkat naskah-naskah tersebut sebagai sumber penelitian dalam rangka pengembangan ilmu masing-masing bidang.
            Oleh karena itu, studi tentang sastra tradisional Melayu di Nusantara akan memberikan sumbangan bagi pengembangan pengetahuan tentang sastra Indonesia dan memberi kontribusi terhadap disiplin ilmu lain. Hal demikian itu tentulah bukan saja bermanfaat untuk kepentingan pengetahuan sastra, tetapi juga untuk kepentingan pengembangan sastra Indonesia dan data yang akurat bagi pengembangan disiplin ilmu humaniora lainnya.
            Dalam hubungannya dengan bahasa, sastra tradisional Melayu Jambi juga dapat memberikan kontribusi. Perkamusan dapat memanfaatkan sastra ini sebagai bahan penelitiannya. Demikian pula dialektologi, lebih-lebih mengingat kemungkinan cerita  rakyat mengandung bahan yang khas Melayu Jambi yang mengandung bahan peninggalan masa lalu.  Dalam cerita-cerita dan puisi-puisi tradisional terdapat nama-nama bagian tubuh sejak dalam kandungan sampai lahir dan dewasa, nama musim, pembagian waktu, nama bilangan, frase yang menyangkut masalah fonetik, morfologi, sintaksis, kata seru, kehidupan masyarakat desa, penguburan, kepercayaaan, nama bagian-bagian bangunan, nama makanan, nama tumbuhan, alat tenun, kehidupan seksual, magis, permainan, pernyatan penghormatan, sapaan kekerabatan, penyakit, alat pertanian, pakaian, adat-istiadat, kesenian, dan lain-lain.

3. Simpulan
Pembicaraan di atas adalah dalam rangka mengungkapkan peranan karya sastra tradisional Melayu Jambi pada kehidupan masa kini. Masih banyak unsur dalam  karya sastra tradisional Melayu Jambi yang fungsional bagi masyarakat sekarang, yang perlu mendapat perhatian.
            Sastra tradisional Melayu Jambi, baik yang berupa lisan maupun tulisan menyimpan sejumlah hikmat yang berupa nilai-nilai luhur warisan nenek moyang yang relevan bagi kehidupan masa kini. Relevansi yang terungkap dari pembicaraan tadi menyangkut aspek tradisi, bahasa, sastra, budaya, dan materi-materi kandungan teks.
            Bila ingin melakukan pendekatan terhadap sastra tradisional Melayu Jambi, baik yang berupa naskah maupun folklore dari berbagai disiplin ilmu, seperti:  filologi, sastra, linguistik, antropologi, dan sejarah, perlu mempertimbangkan hakikat karya tersebut sebagai karya sastra yang merupakan produk masa lampau.
                                                                                                Jambi, 15 Desember 2009